Selasa, 06 Januari 2009

Myasthenia Gravis dan Gangguan Neuromusculer Lain

Myasthenia Gravis dan Gangguan Neuromusculer Lain

Transmisi Neuromusculer
Neuromusculer junction adalah hubungan sinaptik yang dibentuk antara akson motor neuron dan serabut otot yang dipersarafinya. Transmiter yang digunakan dalam neuromusculer junction yaitu acetilkolin disimpan dalam presinaptik saraf motor terminal. Membran otot postsinaptik mempunyai banyak lipatan dimana reseptor asetilkolin berada. Pada waktu potensial aksi saraf mencapai bagian terminal saraf presinaptik, terdapat peningkatan jumlah konduktansi calcium melewati saluran voltage-gate calcium. Peningkatan ini dalam calcium intraseluler menyebabkan fusi/gabungan asetilkolin yang mengisi vesikel presinaptik dengan membran plasma motor saraf terminal. Asetilkolin berikutnya direlease ke dalam sinaptik klep dengan eksositosis.
Asetilkolin berdifusi melintasi sinaps dan terikat pada reseptor asetilkolin pada membran otot postsinaptik. Ikatan asetilkolin pada reseptor ini menyebabkan peningkatan konduksi sodium dan potasium. Hal ini menyebabkan depolarisasi sementara membran otot postjunctional yang dikenal sebagai potensial end plate. Depolarisasi ini menyebabkan pembangkitan dan perambatan potensial aksi pada sel otot postsinaptik. Proses ini menginisiasi rangkaian peristiwa pada sel otot yang hasil akhirnya adalah kontraksi otot. Gangguan neuromusculerjunction berasal dari disrupsi bagian-bagian dari peristiwa ini.

Myasthenia Gravis (Autoimun Myasthenia)
Penting untuk diagnosis
· Kelemahan yang fluktuatif dan kelelahan pada otot yang sering digunakan
· Sering mengenai otot oclar, bulbar, dan respirasi.
· Dapat dihubungkan dengn thymoma atau thimic hiperplasia
· Adanya sirkulasi antibodi ke reseptor asetilkolin (banyak pasien).
Pengertian Umum
Myasthenia gravis (MG), gangguan neuromusculer junction yang paling umum, adalah penyakit yang didapat dan mengenai antibodiautoimun mediated. Pada kelainan ini, antibodi diserang melawan reseptor asetilkolin nicotinic (AChR) di neuromusculer junction, menghasilkan penurunan pada semua jumlah AChRs dan kerusakanmembran postsinaptik.
Prevalensi MG autoimun diperkitakan sekitar 1 kasus dalam 10.000-20.000 orang. Wanita lebih sering terserang pada dekade kedua dan ketiga dan laki-laki lebih sering pada dekade kelima dan keenam. Yang berhubungan dengan kelainan autoimun terdapat kira-kira 5 % dari pasien dan penyakit komorbid thyroid terjadi lebih dari 10 %.
Patogenesis
Pada MG secara umum, AchR antibodi terdeteksi pada pasien hingga 90 %, dimana merupakan MG ocular murni, hanya sekitar 50 % pasien yang antibodinya positif. Pasien tanpa antibodi ini diklasifikasikan sebagai seronegatif MG. Antibodi melintasi saluran AchRs dan memudahkan kecepatan luar biasa endositosis yang menghasilkan hilangnya reseptor pada membran postsinaptik. Selanjutnya, complement mediated rusak sampai ke membran postsinaptik sehingga makin sedikit lipatan membran dan meluaskan sinaptik klep.
Antibodi pada epitop selain AchR telah diketemukan pada pasien MG. Termasuk antibodi kinase otot spesifik (MuSK) pada MG seronegatif dan antibodi otot protein titin dan ryanodin pada pasien yang menderita thymoma. Tidak jelas bagaimana antibodi ini menyebabkan kelainan klinis.
Hasil antibodi adalah sel T mediated yang dihasilkan berhubungan dengan disfungsi thymic. Hiperplasi kelenjar thymus limphofolicular terjadi pada 70 % pasien MG. Thymoma, tumor jinak epitel kelenjar thimus, terjadi pada 10 % pasien MG. Pada subpopulasi ini, penyakit ini dapat diperkirakan sevagai gangguan paraneoplastik (lihat bab13).

Penemuan Klinis
A. Gejala dan Tanda
Mg secara klinis ditandai dengan kelemahan yang fluktuatif, kelelahan pada otot yang sering digunakan. Kriteria Hallmark mencakup ptosis, diplopia, disartria, disfagia,dan kelemahan otot respirasi dan anggita gerak. Sekitar setengah pasien mengalami keluhan ocular. Yang lainnya mungkin ada dengan gejala respirasi, disartria dan disfagia atau kelemahan otot anggota gerak yang mengalami kelelahan. Kelemahan otot ocular biasanya bilateral dan asimetris dan berakibat diplopia, ptosis atau keduanya. Khususnya, pengecualian pada pupil. Akhirnya, hampir semua pasien dengan MG mengalami gejala ocular dan pada beberapa hal penyakit ini terbatas pada otot extraocular.
Dalam tahun pertama onset penyakit ini, sampai 75 % pasien mengalami gejala-gejala yang sama rata. Gejala bulbar sering terjadi dan termasuk disartria, disfagia, kelemahan otot wajah dan kelemahan otot pengunyah. Karena kelemahan otot palatal, pasien sering mengalami serangan dan dapat terjadi regurgitasi cairan melalui hidung. Manifestasi bulbar sering merupakan gejala kecacatan terparah. Kelemahan anggota gerak dan tulang belakang umumnya lebih berat pada bagian proximal daripada bagian distal. Seringnya, lengan lebih sering terkena daripada kaki. Otot kuadriseps, triseps dan extensor leher nampaknya menjadi otot yang sering terkena. Kelemahan myastenic Hallmark adalah fluktuatis dan kelelahan alami. Kelemahan bisa meningkat semakin hari dan semakin memburuk dengan aktifitas terus-menerus dan membaik dengan istirahat.
Gejala yang paling sering adalah kegawatan respirasi disebabkan karena kelemahan otot diafragma dan intercostal. Gejala respirasi ini, dalam hubungannya dengan gejala bulbar yang berat dapat memuncak menjadi satu yang disebut krisis myathenic yang ditandai dengan kegagalan respirasi yang memerlukan ventilasi mekanik. Komplikasi ini terjadi pada sekitar 15-20 % pasien dengan MG dan mungkin dipercepat dengan infeksi atau aspirasi.
Kira-kira sepertiga wanita hamil dengan MG mengalami eksaserbasi karena kehamilannya, dengan resiko terbesar selama trimester pertama. Pada beberapa pasien, gejala dan tanda membaik selama semester dua dan tiga yang diikuti dengan imunosupresi kemudian kembali terjadi selama periode postpartum.
Selanjutnya, efek pada si ibu, kira-kira sepertiga bayi dari ibu dengan autoimun MG mengalami penularan mysthenia neonatal dengan kelemahan yang nampak dalam 4 hari pertama kehidupan dan biasanya berlangsung selama 3 minggu. Kelemahan terjadi akibat transfer plasental antibodi maternal ke dalam sirkulasi daerah fetal, belum ada hubungan yang jelas antara kelemahan neonatal dan status klinis maternal atau kadar antibodi. Juga menyerang pada bayi yang menderita gizi buruk dan tangisnya lemah.
B. Studi Diagnostik
1. Tes Tensilon (Edrophonium)
Tes ini mengevaluasi respon terhadap inhibitor kolinesterase short-acting. Penguji harus mengidentifikasi gejala klinis untuk diamati (paling sering ptosis). 1 mg edrophonium diberikan secara intravena sebagai dosis uji. Jika tidak ada efek samping yang dicatat, dosis 3 mg bisa diberikan. Respon klinis seharusnya diamati dalam 30-60 detik. Jika tidak ada respon yang terlihat, dosis tambahan 3 mg edrophonium dapat diberikan dan pasien dites lagi. Jika masih tidak ada perbaikan, dosis akhir 3 mg bisa diberikan, dari semuanya berjumlah 10 mg. jika masih tidak ada perbaikan klinis setelah 2 menit, tes dinyatakan negative. Penelitian ini menunjukkan sensitifitas 70-95 % untuk tes ini. Spesifisitasnya tidak tinggi, hasil tes positif dilaporkan pada beberapa kondisi termasuk sindrom Lambert Eaton myasthenic, botulism, tergigit ular, penyakit motor neuron dan multiple sxlerosis.
Efek samping muskarinik kolinergik yang serius dapat terjadi pada tes ini, termasuk peningkatan sekresi oropharyngeal dan dekompensasi respirasi juga bradikardi atau asistol. Monitoring aktif jantung harus ditampilkan dan atropine seharusnya siap tersedia selama tes ini.
Ketika ptosis berat muncul, kelemahan myasthenic kadang-kadang bisa dievaluasi dengan meletakkan kantung es menutupi kelopak mata yang tertutup karena ptosis selama 2 menit. Tes ini dipertimbangkan suportif dari kelemahan myasthenic jika ptosis bisa terlihat perbaikan. Temperatur dingin menurunkan aktifitas kolinesterase dan meningkatkan efisiensi asetilkolin dalam membangkitkan depolarisasi pada end-plate. Yang mirip, dapat dievaluasi perbaikan ptosis setelah tidur selama 30 menit.
2. Studi Laboratorium
Tes serologis seharusnya dilakukan dalam beberapa langkah. Skrining antibody pertama untuk antibody pengikat AchR karena dialah yang paling sensitive. Jika negaif, kemudian tes AchR modulating antibody meningkatkan hasil diagnostic. Tes untuk antibody blok AchR tidak meningkatkan sensitifitas.
Pada pasien yang seronegatif untuk antibody ini, antibody MuSK mungkin ada. Pasien dengan thymoma mungkin mempunyai antibody pada protein otot ryonodin dan titin. Dari catatan, titer absolute antibody ini tidak berhubungan dengan rangkaian penyakit atau keparahannya.
3. Studi Elektrodiagnostik
Studi konduksi saraf rutin dan elektromyografi biasanya tidak mengidentifikasi disfungsi neuromuscular junction. Stimulasi pada saraf berulang dan lambat adlah yang paling sering digunakan untuk evaluasi MG. Pada tes ini, saraf distimulasi 6-10 kali dengan rata-rata 2 atau 3 Hz dan jumlah potensila aksi otot (CMAP) diukur diatas otot yang berhubungan. Pada orang normal, tidak ada perubahan yang terjadi pada CMAP selama waktu itu. Pada pasien MG, akan tetapi ada penurunan lebih dari 10 % pada CMAP pada stimulasi 4 atau 5 kali pertama. Segera mengikuti 10 detik latihan volunter maksimal, penurunan biasanya membaik sampai normal. Hal ini diikuti oleh kelelahan post latihan, dengan penurunan progresif yang lebih besar saat stimulasi pada interval 1 menit setelah latihan volunter maksimal. Stimulasi frekuensi rendah yang berulang mempunyai sensitifitas rendah, hanya 75 % pasien dengan MG sedang dan bahkan lebih sedikit dengan hanya kelemahan ocular atau anggota gerak distal yang hasil tesnya positif. Selanjutnya, stimulasi saraf berulang tidak spesifik untuk MG dan bisa positif pada sindrom myasthenic lambert-eaton, myositis atau penyakit lower motor neuron. Abnormalitas yang tercatat pada stimulasi saraf berulang tidak berhubungan dengan derajat kelemahan.
Elektromyografi serabut tunggal memiliki sensitifitas kira-kira 95 % pada MG. Tes ini mengukur variabilitas pada waktu transmisi sinaptik yang sering disebut juga ”jitter” diantara 2 saraf yang diinervasi oleh akson yang sama. Pada MG ada peningkatan variabilitas latensi diantara serabut-serabut otot pada motor unit tunggal. Selanjutnya, potensial serabut otot mungkin terblok jika transmisi pada neuromusculer junctionnya tidak lengkap. Selama stimulasi saraf berulang lambat, abnormalitas yang terlihat pada elektromyografi serabut tunggal tidak spesifik untuk MG.
4. Imaging dan Studi Lainnya
Karena hubungan antara MG dan thymoma, semua pasien seharusnya diskrining untuk tomor ini menggunakan CT scan dan juga MRI dada. Selanjutnya, pasien seharusnya diskrining untuk penyakit autoimun komorbid yang sering ada (seperti : sistemik lupus erithematosus, rheumatoid artritis) juga penyakit thyroid.
Diagnosis Banding
Untuk MG general, diagnosis banding mencakup sindrom lambert eaton myasthenic, botulism dan myopathi. Untuk mysthenic ocular, alternatif diagnosis mencakup ophtamoplegi external progresif, penyakit thyroid dan distropi muscular oculopharyngeal. Penyakit motor neuron, stroke batang otak, difteri dan botulism harus dipertimbangkan dengan myasthenia gravis predominant bulbar.

Tabel 22-1. inhibitor kolinesterase yang digunakan dalam pengobatan gejala myasthenia gravis

Obat Dosis Efek samping
Pyridostigmin bromide 600 mg/hari per oral dengan interval dan dosis untuk gejala (cth : 60-120 mg per oral setiap 4-6 jam) Umum : kram abdominal, disre, hipermotilitas GI, mual, muntah, diaphoresis, fasikulasi, kram otot, peningkatan sekresi bronkus, peningkatan salivasi, miosis.
Serius : bradikardi,krisis kolinergik
Ambenonium 5-15 mg peroral 3-4 kali sehari, sampai max 200 mg/hari Umum : distress epigastrik, malaise umum dengan anxietas dan vertigo, miosis, pandangan kabur, fasikulasi otot, kram, sialorea, broncorrea, kelebihan sekresi lacrimal, berkeringat, urgensi urin
Neostigmin 150 mg/hari peroral dengan interval dosis disesuaikan dengan gejala Umum : diaphoresis, diare, flatulensi, hipermotilitas GI, mual, muntah, peningkatan salivasi, kedutan
Serius : anaphilaksis, bronkspasme, gagal napas, depresi pernapasan, aritnia jantung, kejang


Pengobatan
A. Pengobatan Simptomatik
Pengobatan simptomatik utama adlah inhibitor kolinesterase, yang meningkatkan konsentrasi asetilkolin pada AchR (tabel 22-1). Inhibitor aseilkolin paling efektif pada awal penyakit ketika masih ada jumlah reseptor yang cukup. Pada pasien dengan penyakit ringan, agen ini bisa digunakan sendiri tanpa terapi imunosupresi. Selama penyakit berlanjut, peningkatan dosis mungkin diperlukan untuk mencapai efek terapeutik yang sama. Pyridostigmin biasanya digunakan paling tidak 3-4 kali sehari tapi interval dosisnya perlu disesuaikan berdasarkan gejalanya. Formulasi long-acting tersedia dan mungkin berguna dalam kontrol gejala selama malam hari.
Efek samping utama dari inhibitor kolinesterase ini berhubungan dengan kadar berebihan asetilkolin pada sinaps nicotinic dan muskarinik. Efek samping muskarinik termasuk diare, kram, dan kelebihan sekresi yang bisa memperburuk kegawatan respirasi. Efek samping nikotiniktermasuk fasikulasi otot dan peningkatan blokade transmisi neuromuskuler yang bisa menyebabkan terjadinya krisis kolinergik.
B. Pengobatan imunosupresif
1. Thymectomi
Untuk pasien dengan neoplasme thymoma, pengangkatan bedah tumor diperlukan untuk mencegah penyebaran tumor. Untuk pasien tanpa thimoma, thymectomi meningkatkan kemungkina remisi. Data efikasi dari thimectomi didukung oleh faktor-faktor seperti jenis teknik bedah dan tidak adanya uji kontrol. Pada pusat-pusat yang berpengalaman, akan tetapi, mortalitas dan morbiditas perioperatif sangat rendah dan diperberat dengan kesempatan penyembukan pada banyak kasus. Ada kontroversi tentang prediktor hasil tapi patologi thimus, usia atau keparahan penyakit tidak reliabel dalam memprediksiremisi. Kalau ada kontraindikasi, timektomi seharusnya dipertimbangkan untuk pasien MG pada semua usia. Prosedur ini nampaknyapaling efektif ketika dilakukan selama 2 tahun pertama penyakit ini. Pengobatan medis MG lebih dahulu sebelum bedah bisa menurunkan morbiditas perioperatif. Imunoglobulin intravena perioperatif (IVIG) atau plasmapheresis sering digunakan untuk stabilisasi pasien dengan MG general.
Ada perdebatan tentang prosedur dan protokol bedah terbaik termasuk extensif transsternal dan juga pendekatan transcervikal dan terakhir teknik endoskopik dan pendekatan kombinasi. Telahdiperkirakan bahwa rseksi yang lebih ekstensif pada jaringan thymus menyebabkan angka remisi yang lebih tinggi tapi hal ini masih akan menjadi kontroversi sampai terdapt perbandingan konklusif.
2. Terapi Medis
Bagi banyak pasien, pengobatan meliputi induksi remisi dengan dosis tinggi imunosupresan. Sekali remisi tercapai, imunosupresan bisa diturunkan bertahap tapi banyak pasien perlu diteruskan paling tidak dengan pengobatan dosis kecil.
a. Kortikosteroid
Obat ini adalah terapi imunosupresif garis pertama dari MG. Banyak pasien dengan gejala memburuk dalam 2 minggu pertama pada permulaan pengobatan ini. Oleh karena itu, terapi kortikosteroid harus diawali dengan stabilisai awal dengan plasmapheresis atau imunogolbulin intravena. Pasien sebaiknya dimonitor dengan teliti pada saat terapi kortikosteroid diawali dan mungkin diperlukan hospitalisasi.
Kortikosteroid menginduksi remisi hingga 50 % pasien dan mencapai 80 % dari semua manfaat pasien dari terapi. Banyak pasien membaik dalam minggu-ninggu pertama pengobatan. Sekali remisi tercapai, kortikosteroid diturunkan secara lambat sampai dosis paling rendah yang mungkin yang tidak menghasilkan keparahan penyakit.
Tabel 22-2. imunosupresan yang digunakan pada pengobatan myasthenia gravis

Obat Dosis Monitoring Efek samping
Azatrioprine Meningkat bertahap sampai 2-3 mg/kg/hari peroral Monitor CBC dan fungsi hati tiap minggu selama bulan pertama, 2x selama bulan ke 2 dan ke 3 kemudian tiap bulan Umum : hipersensitifitas GI, mual, muntah
Serius : cancer (jarang), hepatotoksisitas, infeksi, leukopeni, trombositopeni, anemia megaloblastik, pankreatitis
Mycophenolate mofetil 1-1, peroral 2x sehari Monitor CBC tiap minggu selama bulan pertama, 2x selama bulan ke 2 dan ke 3 kemudian tiap bulan Umum : konstipasi, diare, mual, muntah, sakit kepala.
Serius : bingung, tremor, perdarahan GI, hipertensi, edema perifer, infeksi, sepsis, cancer (jarang), myelosupresi
Cyclosporine 2,5 mg/kg/hari peroral dibagi 2x sehari, setelah 4 minggu dosis bisa ditingkatkan 0,5 mg/kg/hari selama interval 2 minggu sampai max 4 mg/kg/hari Monitor tekanan darah, CBC, asam urat, potassium, lpid, magnesium, serum kreatinin, dan BUN tiap 2 minggu selama 3 bulan pertama terapi dan kemudian tiap bulan jika pasien stabil Umum : sakit kepala, hirsuitisme, mual, diare, tremor, hiperlasia gum
Serius : anaphilaksis, kejang, hepatotoksisitas, hiperkalemi, hipomagnesemi, hipertensi, infeksi, neprotoksisitas, hemolitik uremic sindrom, parestesia, limphoproliferatif
Komplikasi kortikosteroid meliputi intoleransi glukosa, hipertensi, katarak, ulcer gastrointestinal, myopathy, necrosis avascular pada hip, osteoporosis, infeksi, dan psikosis. Beberapa resiko dapat dikurangi dengan implementasi rendah sodium, diet rendah gula, diikuti suplementasi calcium dan olahraga. Resiko osteoporosis dapat dikurangi dengan pengobatan profilaksis (contoh : alendronat sodium 5 mg/hari oral).
b. Imunosupresi nonsteroid
Karena efek samping kortikosteroid, teknisi sering menggunakan yang disebut medikasi steroid terpisah seperti azatriopin (tabel 22-2). Setidaknya 50 % pasien kelihatannya bermanfaat dengan pengobatan ini. Banyak studi menjelaskan penggunaan obat ini bersama dengan kortikosteroid, tidak sebagai monoterapi. Efek samping umumnya ringan tapi dapat mencakup sumsum tulang dan keracunan hepar, untuk alasan ini hitung darah dan fungsi hati perlu dimonitor. Azatrioprin beraksi lebih lambat daripada kortikosteroid. Perbaikan mungkin mulai hanya setelah beberapa bulan pengobatan dan perbaikan maksimal bisa memerlukan waktu 1-2 tahun. Hingga 20 % pasien terjadi reaksi idiosinkrasi terhadap azatriprin selama minggu pertama pengobatan terdiri dari : demam, menggigi, rash, dan gejala gastrointestinal. Pada pasien yang intoleransi ini, azatrioprin harus dihentikan segera.
Akhir-akhir ini, mychopenolat mefetil telah dianggap sebagai terapi adjuvan atau diluar kortikosteroid dan mungkin sebgai monoterapi. Studi pendahuluan menunjukkan perbaikan klinis pada kira-kira ¾ pasien. Onset kegunaan biasanya setelah 1-2 bulan, dengan puncak efek biasanya sekitar 6 bulan. Efek samping dari obat ini berkurang dengan pengobatan alternatif dan meliputi efek samping gastrointestinal, hipertensi dan edema perifer. Pasien sebaiknya dinasehati untuk menghindari paparan sinar UV sambil minum obat. Mycophenolat mefetil dapat menyebabkan penekanan sumsum tulang dan oleh karena itu perlu pengamatan hitung darah. Penggunaan azatrioprin dan mycophenolat mefetil secara terus menerus tidak dianjurkan.
Cyclosporin digunakan untuk pasien dengan MG berat yang tidak dapat dimanage dengan bentuk terapi yang kurang toksik. Efek samping utama mencakup toksisitas ginjal dan hipertensi. Cyclophosphamid merupakan alkilating agent yang telah digunakan pada pasien dengan penyakit refrakter. Efek sampingnya mencakup penekanan sumsum tulang, toksisitas kandung kemihdan resikoterjadi neoplasma. Pengobatan dengan cyclosporin atau cyclophosphamid seharusnya diatur oleh ahli yang mengetahui tentang efek kerugiannya dan mengamati keperluannya.
Bagi semua obat imunosupresi selain kortikosteroid mungkin ada peningkatan resiko jangka panjang terhadap limfoma atau keganasan lain.
c. Pengobatan Jangka Pendek
Plasmapheresis dan IVIG masing-masing menginduksi perbaikan klinis dengna cepat tapi efek terapinya hanya berlangsung cepat (tabel 22-3). Keduanya sering digunakan pada kondisi khusus krisis myastenic. Selanjutnya pengobatan ini juga dapat digunakan untuk menstabilkan pasien yang utamanya dengan thymectomi atau untuk mengobati eksaserbasi yang terjadi selama infeksi, bedah atau untuk menurunkan dosis regimen kortikosteroid.
Plasmapheresis biasanya menghasilkan perbaikan klinis dalam minggu pertama dan berguna biasanya selama 1- 2 bulan. Komplikasinya tidak sering tapi mencakup hipotensi, bradikardi, ketidakseimbangan elektrolit dan infeksi.
IVIG mempunyai efikasi yang sam dengan plasmapheresis. Efek sampingnya meliputi malaise, hipersensitifitas, meningitis aseptik dan jarang insufisiensi ginjal, stroke dan infark miokard. Selanjutnya, pasien dengan defisiensi Ig A bisa mengalami anaphilaxis. Pada banyak pasien akan tetapi, IVIG ditoleransi dengan baik.
Telah ada perdebatan apakah plasma exchange atau IVIG yang lebih baik untuk imunoterapi jangka pendek myasthenia gravis pada kenyatannya, pilihan terapi untuk penyakit akut sering bergantung pada kemungkinan terjadinya dan pada sumber yang tersedia pada situasi tersebut.
C. Pengobatan Krisis Myasthenic
Krisis myasthenic didefinisikan sebagai eksaserbasi kelemahan yang menyebabkan kegagalan respirasi yang memerlukan ventilasi mekanik. Untuk pasien dengan eksaserbasi myasthenik dengan gejala respirasi dan bulbar, hospitalisasi seharusnya dipertimbangkan untuk mengawasi secara teliti status klinis dan fungsi paru. Sekali pasien diintubasi, pengobatan antikolinesterase seharusnya tidak diteruskan karena bisa menyebabkan sekresi yang berlebihan. Kortikosteroid sebenarnya bisa memperpanjang durasi krisis dengan eksaserbasi kelemahan atau mempercepat infeksi. Terapi utama untuk krisis myasthenic adalah imunoterapi jangka pendek juga plasmaphersis atau IVIG.
D. Obat-obat Yang Bisa Memperburuk Gejala Myasthenia Gravis
Bebrapa kelompok obat berhubungan dengan perburukan klinis pada MG dan kelompok obat yang lebih kecil sebenarnya menyebabkan MG pada kadang-kadang pasien.
D penicilamin, interferon α dan transplantasi sumsum tulang telah diimplikasikan untuk menyebabkan MG. Mekanismenya tidak jelas, tapi ada bukti berdasarkan autoimun untuk keduanya penicillin dan interferon α. Pada banyak kasus, gejala membaik dengan pemutusan obat.
Banyak obat lain yang berhubungan dengan perburukan myasthenic (tabel 22-4). Karena beberapa obat berpotensi dapat memperburuk gejala, pasien dengan MG seharusnya diawasi tentang kemungkinan eksaserbasi dengan penggunaan obat.
Tabel 22-3. pengobatan imunosupresi jangka pendek untuk myasthenia gravis

Pengobatan Regimen Efek samping
Imunoglobulin intravena (IVIG) 2 g/kg er kasus dibagi selama 5 hari pengobatan
Pertimbangan premedikasi dengan diphenhidramin HCl (50 mg peroral sekali) dan acetaminophen (650 mg peroral sekali), 30 min untuk pengobatan IVIG Umum : malaise, sakit kepala, menggigil, kemerahan, demam, sesak, mual
Serius : anaphilaksis, rash, terjadi trombotik termasuk stroke dan infark miokard (resiko rendah dengan infus lambat, konsntrasi <0,5 ml/kg/h), disfungsi ginjal (resiko tinggi dengan produk sukrose), anemia hemolitik, neutropenia, meningiis asepik, transmisi infeksi (jarang)
Plasmapheresis Regimen umum 5 exchange dengan jadwal alternating day Umum : pusing, mual, muntah, sakit kepala, hipocalsemi karena citrat
Serius : hemoragi sekunder anikoagulan sistemik, ggn kardiovasculer karena penimbunan cairan, resiko transmisi infeksi ketika menganti cairan mengandung plasma, reaksi alergi menyebabkan anaphilaksis, aktivasi koagulasi, komplemen dan fibrinolitik kaskade atau agregasi platelet menyebabkan koagulasi intravasculer, infeksi, sepsis

Prognosis
80 % pasien pada akhirnya menjad MG general. Pada pasien dengan penyakit yang terbatas pada otot oculer, inhibitor kolinesterase, kortikostroid dosis rendah atau terapi non medis (contoh : kruk kelopak mata) mungkin cukup untuk mengontrol gejala.
Banyak pasien dengan MG general menikmati kehidupan normal dan produktif ketika diterapi adekuat. Akan tetapi, kualitas hidup mungnkin memburuk sebagai akibat keduanya, terbatasnya efikasi dan efek samping obat yang tersedia. Pasien dengan underlying thymoma sering memiliki rangkaian penyakit yang lebih agresif.

SINDROM MYASTHENIA CONGENITAL
Ada multipel sindrom myasthenik kongenital yang merupakan akibat defek genetik pada protein presinaptik, sinaptik dan postsinaptik. Gejalanya terlihat pada saat lahir atau nampak pada awal usia kanak-kanak. Kelemahan biasanya menyerang otot kepala dan sering ada hubungannya dengan langit-langit atas. Inhibitor kolinesterase sangat membantu pengobatan sindrom ini dalam beberapa hal tapi tidak semua.

Lambert Eaton Myasthenic Syndrom
Penting untuk diagnosis :
· Kelemahan otot anggota gerak proksimal yang bisa membaik dengan olahraga.
· Disfungsi otonom(mungkin berat)
· Hubungan kuat dengan kanker paru sek kecil (small cell)
Pengertian Umum
Lambert Eaton Myasthenic Sindrom (LEMS) adalah penyakit autoimun atau paraneoplastik yang disebabkan oleh abnormalitas presinaptik dalam pelepasan asetilkolin. Ditandai dengan kelemahan fluktuatif kronik pada otot anggota gerak proksimal khususnya pada kaki. Kira-kira 60 % pasien dengan LEMS memiliki hubungan dengan Ca paru sel kecil atau jarang keganasan lain. Diagnosis LEMS sering mendahului deteksi klinis keganasan. Pada orang yang tidak punya rowayat keganasan, sering terjadi bersamaan dengan penyakit autoimun. Onset penyakitnya sering pada pertengahan usia atau lebih tapi pernah juga dilaporkan pada anak-anak.pasien yang lebih muda sering menderita riwayat penyakit autoimun daripada keganasan.
LEMS disebabkan oleh antibodi yang terletaksaluran voltage gate calcium tipe P/Q dan menurunkan pelepasan neurotransmitter pada neuromusculer junction dan saraf otonom terminal. LEMS berhubungan dengan neoplasma yang dibahas lebih lanjut pada bab 13.
Penemuan Klinis
A. Gejala dan Tanda
Onset gejalanya biasanya membahayakan. Kelemahan general dan kelelahan adalah gejala utama. Pasien sering mengeluh myalgia, otot lemah, stiff. Mungkin ada perbaikan kekuatan dengan olahraga. Gejala oculobulbar dan respirasi lebih jarang daripada MG tapi pasien LEMS bisa disertai dengan kegawatan respirasi. Tidak seperti pasien dengan MG, orang dengan LEMS mungkin mengeluh rasa seperti logam dan sering mengalami disfungsi ototnom yang menyebabkan mulut kering, orthostatis, konstipasi dan impotensi. Pada pemeriksaan, kelemahan yang didapatkan sering hanya ringan bila dibanding dengan keluhan pasiennya. Reflek tendon dalam sering hipoaktif atau tidak ada tapi mungkin bisa normal dengan kontraksi cepat. Pupil mungkin berdilatasi dan sedikit berespon terhadap cahaya karena disfungsi otonom.
B. Hasil laboratorium dan Elektrodiagnosis
Antibodi melawan P/Q tipe VGCCsbisa dideteksi pada lebih dari 90 % pasien dengan LEMS. Selanjutnya, antibodi N tipe VGCCs dapat ditemukan hingga 50 % pasien persentase ini lebih tinggi pada keganasan yang berhubungan dengan LEMS.
Autoantibodi spesifik organ (pada thyroid, lambung, sel parietal atau otot skelet) dan aotoantibodi tidak spesifik organ (antinuclear, antimiticondrial) juga ditemukan pada pasien dengan LEMS.
Studi elektrodiagnostik membantu menegakkan diagnosis dan memonitor progres penyakit. Jumlah potensial aksi otot (CMAP) rendah pada sebagian besar otot yang diperiksa dan amplitudo CMAP istirahat adalah petanda terbaik untuk keparahan penyakit. Seperti pada MG, banyak pasien mengalami penurunan respon terhadap angka stimulasi berulang lambat latihan lanjutan atau stimulasi berulang pada frekuensi 20-50 Hz biasanya ada tanda fasilitasi dengan penggandaan amplitudo CMAP. Penemuan yang terdahulu berguna untuk membedakan LEMS dari MG.
Elektromiografi jarum konvensional menunjukkan potensial aksi motor unit yang tidak stabil yang mengubah konfigurasi dari impuls ke impuls karena blokade dari masing-masing serabut otot. Pada waktu banyak serabut otot terblokade, motor unit bisa menjadi kecil, poliphasic dan berdurasi cepat. Seperti MG, peningkatan jitter dan blokade impuls terlihat pada elektromiografi serabut tunggal.
Diagnosis Banding
Alternatif diagnosis utama yang perlu dipertimbangkan adalah MG. LEMS sering bisa dibedakan dari MG dengan gejala oculobulbarnya yang ringan dan sering dengan gejala dan tanda otonom yang prominen. Selanjutnya, abnormalitas elektrodiagnostik sering lebih mencolok pada LEMS daripada MG disamping lebih seringnya kelemahan berat pada MG. LEMS sering salah diagnosa sebagai miopati karena kelemahan yang utamanya terjadi di proksimal.
Pengobatan
Tahap pertama penatalasnaan sebaiknya berupa evaluasi keganasan, khususnya pada pasien yang lebih tua atau mereka dengan riwayat merokok. Jika LEMS berhubungan dengan keganasan, gejalanya sering membaik secara dramatis dengan pengangkatan tumor.
Jika tidak ada keganasan yang ditemukan pada tahap awal, pasien seharusnya mengikuti surveilans yang teratur karena adanya LEMS bisa mendahului deteksi neoplasme yang bertahun-tahun. Bagi mereka yang tanpa adanay neoplasma atau kontrol gejala yang tidak cukup dengan pengangkatan tumor, perlu dilakukan farmakoterapi.
3,4 diaminopyradin (3,4 DAP) memperbaiki kekuatan otot dan gejala otonom pada kira-kira 80 % pasien dengan LEMS. Dengan memblok saluran voltage gate potassium, obat tersebut memperpanjang potensial aksi pada motor saraf terminal. Parestesi sekitar mulut adalah efek samping yang sering terjadi tap kejang bisa terjadi pada dosis tinggi. 3,4 DAP tidak diterima oleh Food and Drug Administration di USA tapi bisa diperoleh untuk penggunaan yang sesuai.
Guanidin hydrochlorid menghambat ambilan calcium mitocondrial, memfasilitasi pelepasan asetilkolin pada motor saraf terminal. Guanidin secara efektif meningkatkan kekuatan pada pasien dengan LEMS tapi penggunaannya terbatas pada efek samping yang meliputi penekanan sumsum tulang.
Tidak seperti MG, LEMS tidak sangat responsif terhadap obat antikolinesterase yang akan tetapi mempotensiasi efek 3,4 DAP dan guanidin, membolehkan penggunaannya pada dosis yang lebih rendah.
Jika terapi simptomatik pendahuluan tidak cukup, terapi imunosupresif dapat dicoba tapi kurang efektif pada LEMS daripada MG. Jika kelemahannya memberat, plasmapheresis atau IVIG dosis tinggi sering memberikan perbaikan cepat, meskipun biasanya hanya sementara.
Prognosis
Prognosis pada pasien dengan adanya keganasan ditentukan oleh prognosis keganasan itu. Karena LEMS kurang responsif terhadap terapi imunosupresif daripada MG, banyak pasien dengan LEMS mengalami kelemahan sisa bahkan dengan imunosupresi yang optimal.

BOTULISM
Penting untuk diagnosis :
· Riwayat ingesti makanan kaleng atau madu (pada bayi)
· Onset cepat gejala ocular (diplopia, ptosis, pandangan kabur) dan gejala bulbar (disartria dan disfagia).
· Kelemahan berpola ”descending” mengenai dari oculobulbar sampai anggota gerak.
· Pupil dilatasi
Pengertian Umum
Botulism disebabkan oleh ingesti neurotoksin bakteri Clostridium botulinum bakteri obligat anaerob, tegak, membentuk spora umumnya ditemukan di tanah. Setelah diabsorbsi ke dalam aliran darah, toksin botulism mengikat irreversibe pada akhiran saraf presinaptik dari sistem saraf perifer dan saraf kranial. Sekali masuk tubuh, toksin menghambat pelepasan asetilkolin melalui pemecahan polipeptid esential untuk mengaitkan vesikel sinaptik pada membran presinaptik saraf terminal.
Botulisme yang ditularkan melalui makanan disebabkan oleh ingesti toksin sebelumnya. Sumber yang paling sering adalah kaleng atai makanan yang rendah asam. Pada botulism pada bayi, C botulinum memasuki dan mengkolonisasi traktus gastrointestinal imatur dan menghasilkan toksin. Hal ini paling sering berhubungan dengan ingesti madu. Pada botulism pada luka, toksin dihasilkan dari infeksi C. Botulinum melalui luka. Botulism karena kurang hati-hati dilaporkan pada pasien yang dirawat dengan injeksi intramuskuler toksin botulinum.



Penemuan Klinis
A. Gejala dan Tanda
Gejala awal botulism karena makanan(tapi bukan karena luka) mungkin keluhan gastrointestinal, mual, muntah, diare dan umumnya nampak dalam 2-36 jam ingesti. Konstipasi lebih sering pada saat ada gejala neurologis. Gejala neurologis paling awal adalah oculoulbar dan meliputi mulut kering, pandangan kabur, diplopia, disartria, disfagia, disfonia. Sebaliknya pada banyak kasuss Guillain Barre Sindrom, botulisme ditandai dengna paralisis descending. Kelemahan dimulai dari saraf kranial diikuti oleh ekstremitas atas, otot respirasi dan terakhir ekstremitas bawah. Kelemahan berjalan dari otot proksimal ke distal. Kelemahan respirasi dapat berat dan membutuhkan intubasi yang lama. Botulism juga mengenai transmisi presinaptik otonom, menghasilkan konstipasi, hipotensi postural, dan retensi urin. Pada pemeriksaan, pupil tidak reaktif dan reflek tendon hilang.
Banyak kasus infantil terjadi sebelum usia 6 bulan dan tanda awlanya mungkin konstipasi tangis lemah dan susah makan. Kelemahan kemudian berlanjut beberapa hari, menyebabkan tidak bisa menghisap dan kontrol kepala jelek, hipotoni dan penghentian gerakan. Gejala dan tanda otonom mencakup hipotensi, takikardi, dan mulut kering. Gejala botulism karena luka mirip dengan botulism karena makanan kecuali manifestasi gastrointestinal yang biasanya tidak ada, masa inkubasi lebih lama, dan gejalanya beronset bertahap.
B. Hasil laboratorium dan Elektrodiagnosis
Keduanya darah dan feces bisa dikirim untuk deteksi toksin botulism. C.botulinum sendiri bisa dideteksi pada feces. Jika mungkin, sampel makanan sebaiknya juga dikirim untuk identifikasi toksin.
Studi elektrodiagnosis bisa mendukung diagnosis botulism dan membantu menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain seperti Guillain Barre syndrom. Penemuan paling konsisten adalah CMAP kecil terhadap respon stimulus supramaksimal. Seperti halnya LEMS, uji stimulasi berulang mungkin menunjukkan penurunan CMAP terhadap stimulasi tingkat rendah dan fasilitasi postlatihan pada amplitudo CMAP.
Diagnosis Banding
Botulism harus dibedakan dengan MG, LEMS, GBS (khususnya Miller Fisher jenis one and a half), tick paralysis, neuropati difterik dan intoksikasi (termasuk paralisis keracunan kerang dan organophosphat).
Pengobatan
Pengobatan utama adalah perawatan suportif intensif. Pasienseharusnya dimonitor secara teliti terhadap dekompensasi pernapasan. Jika ingesti masih terjadi, bisa dipertimbangkan penghilangan toksin saluran pencernaan yang tidak terabsorbsi. Pusat pengontrolan penyakit dan pencegahan bisa menyediakan antitoksin botulism trivalent yang akan tetapi harus diberikan awal pada waktu toksin masih ada dalam darah. Antitoksin dapat menurunkan keparahan penyakit dan keseluruhan mortalitas tapi efek sampingnya temasuk anaphilaksis.
Prognosis
Meskipun menurun dengan signifikan, mortalitas botulism masih tinggi pada 5-10 %. Toksin tipe A berhubungan dengan hal yang lebih parah dan mortalitas lebih tinggi daripad toksin lainnya. Penyembuhan klinis sering lama lebih dari berbulan-bulan karen amemerlukan pembentukan presinaptik end-plate baru dan neuromusculer junction. Penyembuhan fungsi otonom mungkin memerlukan waktu yang lebih lama daripada penyembuhan kekuatan otot. Bagi mereka yang bertahan hidup, penyembuhan umumnya sudah lengkap.